Karakteristik Anak SD
Anak SD merupakan anak dengan katagori
banyak mengalami perubahan yang sangat drastis baik mental maupun fisik. Usia
anak SD yang berkisar antara 6 – 12 tahun menurut Seifert dan Haffung memiliki
tiga jenis perkembangan :
- Perkembangan Fisik
Hal tersebut mencakup pertumbuhan
biologis misalnya pertumbuhan otak, otot dan tulang. Pada usia 10 tahun baik
lai-laki maupun perempuan tinggi dan berat badannya bertambah kurang lebih 3,5
kg. Namun setelah usia remaja yaitu 12 -13 tahun anak perempuan berkembang
lebig cepat dari pada laki-laki, Sumantri dkk (2005).
- Perkembangan Kognitif
Hal tersebut mencakup perubahan –
perubahan dalam perkembangan pola fikir.Perkembangan kognitif seperti
dijelaskan oleh Jean Piaget dapat dijelaskan berdasarkan tiga pendekatan
perkembangan yaitu :
- Tahapan Pra Oprasional
- Tahapan Oprasional Konkrit
- Tahapan Oprasional Formal
- Perkembangan Psikososial
Hal tersebut berkaitan dengan
perkembangan dan perubahan emosi individu. Seperti dijelaskan oleh Robert J. Havighurst
mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu harus sejalan dengan
perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek psikis, moral dan
sosial. Sejalan dengan R. J. Havighurst di atas, Syaodih (2007) menjelaskan
tahapan perkembangan anak jika dipandang dari aspek psikis, moral dan sosial
adalah :
Ketiga jenis perkembangan tersebut
berjalan tergantung dari perkembangan masing masing jenis seperti tersebut di
atas yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari variabel stimulan yang
mendorong. Apabila rangsangan fisik yang sering diberikan maka faktor fisik
anak yang berkembangan demikian juga halnya dengan faktor kognitif dan
psikososial.
Karakteristik Pembelajaran Matematika SD
Matematika merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen, matematika
mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu yang berimplikasi pada
daya eksplorasi fikiran manusia. Perkembangan pesat ilmu pengetahun dan
teknologi dewasa ini sebagian besar berasal dari perkembangan ilmu terapan
matematika. Maka penguasaan ilmu matematika dasar maupun terapan adalah kunci
dari suatu keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga penguasaan matematika dasar sedapat mungkin
telah dimulai semenjak dini.
Mata pelajaran matematika diberikan pada
tingkat sekolah dasar selain untuk mendapatkan ilmu matematika itu sendiri
demikian juga untuk mengembangkan daya berfikir siswa yang logis, analitis,
sistematis, kritis, kreatif dan mengembangkan pola kebiasaan bekerjasama dalam
memecahkan masalah. Kompetensi tersebut diperlukan siswa dalam mengembangkan
kemampuan mencari, memperoleh, mengelola dan pemanfaatan informasi berdasarkan
konsep berfikir logis ilmiah dalam rangka bertahan dalam kehidupan yang serba
tidak pasti. Di era globalisasi dewasa ini segala hal dalam bertahan hidup
memerlukan kesiapan dalam berkompetisi baik dalam sekala lokal maupun
internasional.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar
pada kurikulum KTSP disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan
kemampuan tersebut di atas. Matematika mengedepankan pendekatan pemecahan
masalah yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka
dengan pemecahan tidak tunggal dan berbagai masalah matematis dengan berbagai
cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah maka perlu
dikembangkan keterampilan menemukan masalah, mencari penyebab masalah,
mengembangkan teknik mencari solusi pemecahan masalah dan menemulkan solusi
yang paling tepat dalam pemecahan masalah. Walaupun dalam tataran sekolah dasar
pengembangan sikap logis ilmiah tersebut sangat perlu tetapi dalam tataran
permasalahan yang sederhana dan kontekstual. Dalam setiap kesempatan
pembelajaran matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (BNSP 2006)
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
(contextual problem) Dengan mengajukan permasalahan yang kontekstual maka
secara bertahap siswa terbimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk
meningkatkan keefektifan pembelajaran guru diharapkan menggunakan pendekatan,
metode dan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Mata pelajaran matematika pendidikan
sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut :
- Memahami konsep matematika , menjelaskan keterkaitan antara konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, effesien
dan tepat dalam pemecahan masalah
- Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika
- Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh
- Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, dan atau
media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah.
- Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yang
didasari oleh rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Ruang lingkup mata pelajaran matematika
pada satuan pendidikan sekolah dasar meliputi aspek bilangan, giometri dan
pengukuran serta pengolahan data. Bilangan membahas tentang kaedah konsep
simbolisasi lambang bilangan dan perhitungan dasar sederhana yang banyak
melibatkan media konkrit dan media manipulatif lainnya. Giometri dan pengukuran
lebih fokus membelajarkan siswa tentang konsep ruang dan ukurannya dengan
perhitungan dasar yang sederhana menggunakan media konkrit dan media manipulatif
lainnya. Sedangkan Pengolahan data lebih banyak membahas tentang hakekat data,
cara mengolah dan membaca data berdaasrkan kaidah rasional dan ilmiah
menggunakan data-data konkrit dan data manipulatif. Penggunaan media dari
konkrit ke absatrak mempertimbangkan tingkatan kelas dan daya nalar siswa.
Semakin tinggi tingkatan siswa maka penggunaan media di arahkan ke semi abstrak
(manipulatif) sampai tingkatan abstrak. Demikian juga semakin tinggi daya nalar
logis siswa maka semakin berani bagi guru menggunakan media yang semi abstrak
sampai abstrak. Hal ini terjadi pada kasus jika ditemukan siswa yang memiliki
keberbekatan yang tinggi di bidang matrmatika. Sehingga siswa tersebut
diberikan perlakuan khusus sebagai siswa berbakat, jenius dan sejenisnya.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan
kaum konstruktifistik yang memandang bahwa pengetahuan adalah atas dasar
bentukan kita sendiri seperti dikemukakan oleh Von Glaserfeld dalam Suparno
(1997). Von Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dan
gambaran dari suatu kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat
dari suatu konstruksi kognitif berdasarkan fakta dalam aktifitas seseorang
dalam membagun pengalamanya sendiri. Seseorang membentuk skema, katagori,
konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan dalam membangun strukgur
kognitifnya.
Para konstruktifistik memandang bahwa
satu satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu
adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungan dengan menggunakan
segenap panca indranya. Para kontruktifistik percaya bahwa pengetahuan tumbuh,
berkembang dan ada dalam diri seseorang yang dalam keadaan mencari tahu tentang
sesuatu. Pengetahuan tidak begitu saja dapat dipindahkan dari guru kepada
siswanya. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang dibelajarkan guru
yang disesuaikan dengan pengalaman-pengalamannya sendiri.
Menurut paham konstrufistik balajar
merupakan proses hasil konstruksi sendiri sebagai hasil interaksinya dengan
berbagai lingkungan dan pengalaman belajar. Pengkontruksian pemahaman dalam
ivent belajar melalui proses asimilasi dan akomodasi. Secara hakiki proses
asimilasi dan akomodasi terjadi sebagai usaha peserta didik untuk
menumbuhkembangkan pengetahuan yang ada dibenaknya (Heinich, et.al 2002)
Pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik awalnya disebut dengan prakonsepsi
yang dimiliki siswa. Proses asimilasi terjadi apabila terdapat kesesuaian
antara pengalaman baru dengan prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Sedangkan
akomodasi terjadi jika pengalaman baru tidak sesuai dengan prakonsepsi yang
sudah dimiliki siswa. Prinsip ini dikembangkan oleh para pakar pendidikan bahwa
ada satu hal lagi yang terjadi di struktur kognitif siswa jika kedua hal antara
asimilasi dan akomodasi terjadi yang diistilahkan dengan generalisasi.
Dalam hubungannya dengan pembelajaran
matematika dan sains maka para kontrutifisme bergerak pada sisi mengusahakan
perubahan mendasar dari kurikulum yang menggunakan beberapa prinsip :
- Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam
situasi dan minat siswa.
- Matematika pengetahuan artinya, bukan hanya menekankan isi matematika
dan sains tetapi juga fokus dalam konteks prinsip-prinsipnya.
- Penekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi dan multiple
ide
- Menekankan agar siswa dapat bereksplorasi menggunakan seluruh panca
indranya
Penggunaan Media Alat Peraga
- Media Konkrit
Bagi kaum konstruktifisme belajar
diartikan sebagai usaha mengubah konsepsi kognitif siswa melalaui usaha
stimulan oleh guru menggunakan berbagai metode dan media yang memadai dan
mendukung ke arah tersebut. Sehingga oleh Piaget mengistilahkan belajar adalah
sebagai proses adaptasai kognitif . Ia mengadopsi istilah evolusi ala Darwin
dalam memandang permasalahan ini. Di mana Darwin berpandangan bahwa
perkembangan suatu mahluk hidup termasuk manusia di dalamnya seiring waktu
berlalu selalu melalui proses adaptasi agar ia selalu dapat bertahan dalam
kerasnya kehidupan. Proses adaptasi diperlukan dalam rangka untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Berangkat dari persepektif tersebut maka Piaget
memandang bahwa struktur otak juga mengalami hal yang sama. Struktur otak atau
dalam istilah pendidikan adalah struktur kognitif juga mengalami hal yang
disebut dengan adaptasi. Struktur kognitif beradaptasi melalui tiga cara yaitu
akomodasi, asimilasi dan generalisasi. Akomodasi adalah proses adaptasi
kognitif melalui penggantian konsep dan atau pengalaman lama dengan yang baru
karna tidak sesuai lagi dengan struktur kognitif prakonsepsi siswa . Sedangkan
asimilasi adalah proses adopsi beberapa konsep dan atau pengalaman baru yang
sesuai dengan struktur kognitif prakonsepsi siswa. Sedangakan generalisasi
adalah proses menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan konsep.
Berdasarkan prinsip belajar kontruktifistik maka
perantara pembelajaran yang tepat yang dapat menyampaikan pesan pembelajaran
secara tepat adalah media konkrit. Dimana pengertian media konkrit dalam
konteks pendidikan adalah benda benda yang dapat menjadi perantara menyampaikan
pesan pembelajaran dari guru kepada siswa . Dipilih “benda” adalah untuk
menegaskan bahwa obyek tersebut dapat diterima langsung oleh panca indra
manusia, sehingga pada saat guru membelajarkan sesuatu yang berhubungan dengan
suatu benda maka ada baiknya benda tersebut ditampilkan jika memungkinkan dan
apabila tidak dapat digunakan dalam bentuk miniatur atau manipulatif baik
manual ataupun elektronik. Hal yang paling penting adalah siswa mampu
mengimajinasikan kesan obyektif terhadap pesan yang sampaikan.
Media didefinisikan sebagai medium yang artinya
perantara atau pengantar sehingga terjadi komunikasi antara pengirim dan
penerima (Heinich et al, 2002; Ibrahim, 1997; ibrahim et al, 2001) Guru
berperan sebagai komunikator dan siswa adalah komunikan sehingga proses
pembelajaran termasuk salah satu proses komunikasi. Jadi media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan
pembelajaran), sehingga merangsang perhatian minat pikiran dan perasaan siswa
dalam kegiatan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Proses pembelajaran adalah sebuah sistem yang
menempatkan media pembelajaran dalam posisi penting selain guru, siswa, sumber
belajar dan lingkungan belajar. Posisi media dalam sistem pembelajaran tidak
dapat digantikan jika ingin mendapatkan hasil belajar yang optimal melalui
pembelajaran yang atraktif. Media dapat digolongkan menjadi berbagai jenis
berdasarkan pemakaian dan karakteristik jenis media. Terdapat lima model
klasifikasi media pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh (1) Wilbur Schramm,
(2) Gagne, (3) Gerlach adn Ely, dan (4) Ibrahim. Berikut disajikan beberapa
penggolongan media pembelajaran menurut para pakar media pendidikan.
Menurut Schramm, media digolongkan menjadi media
rumit, mahal dan media sederhana. Ia juga mengelompokkan media menurut
kemampuan daya liputan yaitu (1) liputan luas dan serentak seperti TV, radio
dan faksimil ; (2) liputan terbatas pada ruangan seperti film, vidio, slide,
poster dan audio tape; (3) media untuk belajar individual seperti buku, modul,
program,komputer dan telepon.
Menurut Gagne , media dikelompokkan menjadi tujuh
kelompok yaitu benda yang akan didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak,
gambar diam, gambar bergerak, film bersuara dan mesin belajar. Ketujuh kelompok
media pembelajaran tersebut dikaitkan dengan kemampuannya memenuhi fungsi
menurut hirarki belajar yang dikembangkan yaitu pelontar stimulus bejajar,
penarik minat belajar, contoh perilaku belajar, memberi kondisi eksternal,
menuntun cara berfikir, memasukkan alih ilmu, menilai prestasi dan memberi
umpan balik.
Menurut Allen, terdapat sembilan kelompok media, yaitu
visual diam,, film televisi, obyek tiga dimensi, rekaman, pelajaran terprogram,
demonstrasi, buku teks cetak dan sajian lisan. Di samping mengklasifikasikan,
Allen mengkaitkan antara jenis media pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai. Allen melihat bahwa media tertentu memiliki kelebihan untuk
belajar tertentu, tetapi lemah untuk tujuan belajar yang lain. Allen mengungkapkan
enam tujuan belajar, antara lain info faktual, pengenalan visual, prinsip dan
konsep, prosedur, keterampilan dan sikap. Setiap jenis media tersebut memiliki
perbedaan kemampuan untuk mencapai tujuan belajar (ada tinggi, sedang dan
rendah).
Menurut Gerlach dan Ely, media dikelompokkan
berdasarkan ciri-ciri fisiknya atas delapan kelompok, yaitu benda sebenarnya,
presentasi verbal, presentasi grafis, gambar diam, gambar bergerak, rekaman
suara, pengajaran terprogram dan simulasi. Sementara menurut Ibrahim media
dikelompokkan berdasarkan ukuran serta kompleksitas alat dan perlengkapan. Ia
membedakan media menjadi media tanpa proyeksi, media tnpa proyrksi tiga
dimensi, media audio, telvisi, vidio dan komputer.
Jika dipandang berdasarkan karakteristik media maka
media dibedakan menjadi media pembelajaran dua dimensi dan media pembelajaran
tiga dimensi. Media pembelajaran dua dimensi digolongkan kedalam media grafis,
media bentuk papan, media cetak dan media lain yang penampakannya bebentuk dua
dimensi. Sedangka media tiga dimensi digolongkan menjadi belajar benda
sebenarnya melalui karyawisata, spesimen, media tiruan berupa miniatur atau
bentuk lainnya.melalui peta timbul, dan bentuk lainnya yang dapat dilihat
secara tiga dimensi.
Dengan penjabaran di atas maka segala media
karakteristiknya adalah berusaha memvisualisasikan segala bentuk pesan sehingga
siswa menangkap pesan yang disampaikan yang selanjutnya dipersepsikan dalam
struktur kognitif menjadi konsep. Pesan yang dismpaikan dari media apapun bentuknya
akan mengalami proses encoding perseptions dalam pikiran
siswa. Tinkatan persepsi siswa terhadap pesan dari media dalam bentuk apapun
tergantung dari prakonsepsi siswa. Jika dalam struktur kognitif siswa sudah
tertanam suatu konsep (prakonsepsi), dimana kemudia diberikan konsep baru yang
maka proses adaptasi kognitif melalui akomodasi dan asimilasi berlangsung.
Terjadunya perubahan perilaku yang diharapkan menandakan konsep baru berhasil
diadaptasi dan sejalan dengan konsep prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa. Itu
artinya penggunaan media sebagai penyampai pesan tepat berdasarkan simpul
kognitif dan waktu (timingnya) tepat.
- Manfaat Media Konkrit
Penggunaan media konkrit dalam proses
pembelajaran membawa dampak yang sangat luas terhadap pola pembelajaran tingkat
sekolah dasar. Sebagian besar materi pembelajaran di SD bersifat imajinatif
baik rasional maupun tidak, baik yang menyangkut saintifik dan non sains. Hal
tersebut berbeda dengan pola pembelajaran sekolah kkejuruan yang mutlak harus
menampilkan media asli ke dalam ruang belajar. Akan tetapi dengan luasnya
bidang pembelajaran di SD yang meliputi IPA, IPS Matematika, Bahasa hingga
keterampilan sehingga menyulitkan kita apabila semua pembelajaran harus
dilengkapi dengan media asli. Sehingga timbul gagasan untuk memanipulasi benda
asli agar menjadi media yang mendekati asli. Hal tersebut akan memudahkan siswa
untuk membangun struktur konsepnya di otak. Secara rinci berikut manfaat dari
media konkrit
- memudahkan siswa dalam membangun struktur kognitif dalam membentuk
konsep.
- memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran agar sesuai dengan
program yang sudah ditetapkan.
- mengefektifkan proses pembelajaran
- meningkatkan interaksi komponen pembelajaran
- Keunggulan Media Konkrit
Media konkrit merupakan media yang saat
ini paling dianjurkan penggunaannya oleh para pakar pendidikan, praktisi
pendidikan dan pengamat pendidikan. Hal tersebut terjadi karna media konkrit
memiliki banyak keunggulan di antaranya adalah :
- memiliki tingkat obyektifitas yang tinggi
- mudah berinteraksi dengan siswa melalui segenap panca indra
- memiliki fleksibilitas yang tinggi dimana dapat digunakan untuk
pembelajaran mata pelajaran yang lain
- dapat dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi.
- Kelemahan Media Konkrit
Disamping memiliki keunggulan media
konkrit juga memiliki kelemahan. Sebab setiap benda ataupun hal yang lain di
alam ini suatu saat memiliki dampak buruk. Karna hal tersebut selalu
dihubungkan dengan faktor kesesuaian hubungannya dengan manusia. Manusia adalah
subyek penentui apakah suatu benda atau hal lain merugikan atau menguntungkan.
Hal-hal yang merupakan sisi negatif dari benda konkrit adalah berpulang kepada
guru itu sendiri karna siswa sangat diuntungkan dalam hal ini. Sisi negatifnya
adalah :
- sangat merepotkan guru dalam proses persiapan pembelajaran
- kadangkala suatu ide, benda dan hal tertentu sangat sulit
dimanipulasi
- kadangkala ada media konkrit yang sangat menarik perhatian siswa
sehingga banyak waktu tersita bukan untuk tujuan yang ada kaitannya
dengan materi
- sehubungan dengan poin c, maka potensi kegaduhan siswa di kelas akan
meningkat.
Sudah barang tentu sisi negatif
memerlukan penanganan manajemen kelas yang effektif, sehingga suasana tetap
menjadi kondusif walaupun potensi kemungkinan paling buruk terjadi.
- Karakteristik Media Konkrit
Digunakannya manipulasi media konkrit
didasari oleh suatu alasan yang rasional dan kuat seperti dijelaskan berikut
ini. Pada pembelajaran menggunakan kartu bilangan dan garis bilangan adalah
jenis alat peraga konkrit manipulatif. Sebabnya adalah sulitnya mencari alat
yang konkrit yang tepat untuk materi pembelajaran tersebut.
Secara khusus manipulasi media konkrit
yang akan digunakan pada kegiatan saat ini adalah :
- Kartu bilangan bergambar
Kartu bilangan di atas dilengkapi dengan
kait gantungan yang akan dipakai menggantungkannya pada paku pada garis
bilangan, sehingga dapat dimainkan oleh siswa.
- Modifikasi garis bilangan
Dimana garis bilangan dibuat dari sebuah
papan dimana titik pada bilangan ditandai dengan paku. Paku selain sebagai
titik penanda juga berfungsi untuk menggantungkan kartu bergambar bilangan.
Sehingga secara bebas dapat dimainkan oleh siswa.
- Tehnik Memainkan
Tehnik memainkan peraga tersebut di atas adalah
sebagai berikut :
a). Tempelkan papan garis bilangan pada papan tulis
b). Kemudian bagikan kartu bilangan kepada siswa
c). Ajak siswa menggantungkan bilangan
pada papan berpaku secara terurut yang dimulai dari bilangan acak bebas sesuai
keinginan siswa.
d). Demikian seterusnya sehingga sambil
bermain siswa dapat mengurutkan bilangan
- Metode Bermain
Metode berasal dari Bahasa Yunani
“Methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya
ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat
untuk mencapai tujuan. Pengetahuan tentang metode-metode mengajar sangat di
perlukan oleh para pendidik, sebab berhasil atau tidaknya siswa belajar sangat
bergantung pada tepat atau tidaknya metode mengajar yang digunakan oleh guru.
Sedangkan pengertian pembelajaran adalah usaha untuk membuat siswa belajar.
Dengan mengambil dua pengertian di atas maka metode pembelajaran adalah jalan
atau usaha yang ditempuh untuk membuat siswa belajar. Menyimak dari pengertian
tersebut maka metode pembelajaran menempati posisi penting dalam memerankan
fungsinya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Berikut beberapa pengertian metode
seperti dikemukakan oleh beberapa ahli. Pengertian metode menurut Dr.S.
Nasution adalah suatu cara yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
dalam suatu tugas pekerjaan agar dapat mencapai tujuan sesuai yang ditetapkan.
Sedangkan menurut Drs. H Abu Ahmad dkk (2005:52) metode adalah suatu
pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang diberikan oleh seorang guru atau
instruktur. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia metode adalah cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Menurut Syaiful B. Djamarah dkk (2006:82-84),
metode berkedudukan :
- Sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan pembelajaran
- Mensiasati perbedaan individual anak didik
- Untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Makin tepat metode yang
digunakan oleh guru dalam mengajar diharapkan makin efektif dan efesien dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Sudah barang tentu factor lainpun harus
diperhatikan seperti ; faktor guru, faktor siswa, faktor situasi, (lingkungan
belajar), media dan yang lainnya.
Terdapat banyak ragam metode
yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi pembelajaran sperti metode
ceramah, metode diskusi, metode bermain, metode eksperimen, metode tutor teman
sebaya, metode penugasan, metode observasi, metode bermain dan sebagainya. Saat
ini penulis akan mengangkat metode bermain sebagai salah satu alternative dalam
membuat suasana belajar lebih kreatif sehingga keterlibatan siswa dalam proses
lebih besar.
Salah satu tokoh
yang dianggap paling berjasa sebagai pencetus penggunaan metode bermain adalah
Plato seorang filsuf Yunani. Ia dianggap sebagai orang pertama yang menyadari
dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato anak-anak akan
lebih mudah mempelajari Aritmatika dengan cara permainan. Sedangkan Sudono
(2000:1) mengemukakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan
atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan
informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi anak.
Dengan bermain anak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya,
anak-anak akan lebih senang dan menjadikan si anak lebih aktif. Sebagaimana
dikemukakan oleh Mayke (dalam Sudono, 2000:3) bahwa belajar dengan bermain akan
memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan
sendiri, bereksplorasi serta mempraktekkannya. Arief Sadiman (2002:79)
mengatakan permainan dapat dipakai untuk mempraktekkan keterampilan membaca dan
berhitung sederhana. Tujuan pemberantasan buta aksara dan buta angka untuk
orang dewasa atau pelajaran membaca, menulis permulaan serta matematika adalah
yang lazim dikaitkan dengan permainan.
Dalam proses
pembelajaran guru hendaknya memberikan kebebasan kepada setiap anak didiknya
untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pemikiran mereka. Sebaiknya guru juga
memberi kebebasan sesuai dengan sifat alami anak sehingga dalam mengembangkan
kreatifitasnya anak tidak merasa takut untuk memiliki pendapat berbeda dengan
gurunya
Dari penjelasan
di atas dapatlah disimpulkan bahwa metode bermain yang dimaksud adalah suatu
cara yang digunakan dalam melakukan kegiatan untuk menjelaskan konsep abstrak
dalam matematika yang lebih menyenangkan Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya
untuk mencegah ketakutan siswa terhadap pelajaran matematika sehingga siswa
lebih paham dan lebih lama mengingatnya.
Berikut
dikemukakan beberapa pendapat para ahli berupa teori tentang pentingnya
penggunaan metode bermain diantaranya seperti diuraikan di bawah ini.
Teori-teori Belajar
- Teori Belajar menurut Behavioristik
(Thordinke)
Belajar merupakan proses pembentukan hubungan yang
erat antara stimulus (S) dengan respon (R) semakin erat hubungan antara
hubungan S-R maka proses belajar telah berlangsung dengan baik. Belajar
merupakan teori yang diutamakan latihan-latihan. Teori ini juga akan mencoba
berbagai cara dan usaha untuk mendapatkan respon yang benar. Dalam belajar
dengan cara ini harus ada: 1) motif pendororng kegiatan, 2) ada bermacam-macam
respon dalam situasi tertentu, 3) ada eliminasi mencapai tujuan. Hukum dalam
teori Thordinke ada
tiga tahap yaitu
: 1) Low readness yaitu kesiapan stimulus dalam bereaksi, jika reaksi terhadap
stimulus didukung oleh kesiapan bereaksi, maka reaksi memuaskan. 2) Low of
exerscises (hukum latihan, yaitu apabila S_R sering dilakukan atau dipraktekkan
maka hubungan ini semakin kuat. Dalam praktek ini diberikan hadiah bagi respon
yang benar. 3) Law of Effect (Hukun Akibat) yaitu apabila hubungan S_R
dibarengai dengan pengaruh yang memuaskan maka hubungan ini menjadi kuat.
- Teori dari sudut pandang psikonalisa
(Sigmund Freud)
Sigmund Freud, memandang bermain sama seperti fantasi
atau lamunan. Melalui bermain ataupun fantasi seseorang dapat memproyeksikan
harapan-harapan serta pengalaman yang menyenangkan. Freud percaya bahwa bermain
penting dalam perkembangan emosi anak. Perkembangan emosi anak yang dimaksud
adalah dengan bermain proses belajar-mengajar menjadi lebih menyenangkan dan
dapat merangsang belajar siswa sehingga prestasi siswa dapat meningkat.
Pandangan Freud tentang bermain akhirnya memberi ilham atau inspirasi kepada
para ilmu jiwa untuk menggunakan bermain sebagai alat diagnosa ataupun
“mengobati” anak yang bermasalah.
- Teori Belajar Kognisi
1) Menurut Piaget, anak menjalani tahapan perkembangan
kognisi dan sampai akhirnya proses berfikir anak menyamai proses berfikir orang
dewasa. Dalam teori Piaget, bermain bukan saja mencerminkan tahap perkembangan
kognisi anak itu sendiri. Piaget juga mengemukakan bahwa saat bermain anak-anak
tidak belajar sesuatu yang baru, tetapi mereka belajar mempraktekkan dan
mengkonsolidasi keterampilan baru yang diperoleh. Dari hal tersebut dapat
diketahui bahwa dengan bermain, keterampilan baru yang diperoleh melalui
praktek tidak akan segera hilang dan akan selalu diingatnya sehingga belajar
dapat meningkat.
2). Vygotsky memandang bermain identik dengan kaca
pembesar yang dapat menelaah kemampuan baru dari anak yang bersifat potensial
sebelum diaktulisasikan dalam situasi lain, khususnya dalam kondisi normal
seperti di sekolah. Pandangan Vygotsky mengenai bermain bersifat mennyeluruh,
dalam pengertian selain untuk perkembangan kognisi, bermain juga mempunyai
peranan penting bagi perkembangan sosial dan emosi anak. Dengan demikian
melalui bermain, anak dapat memiliki perhatian, daya ingat, dan kerjasama yang
lebih baik sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
3). Teori Jerome Singer (1937), menegaskan bahwa
menggunakan metode bermain sebagai usaha untuk menggunakan kemampuan fisik dan
mental guna mengatur atau mengorganisasi pengalamanny. Bermain memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk menjelajahi dunianya serta mengmbangkan
kreativitasnya.
4). Teori Robert White (1959) yang menjelaskan bahwa
bahwa kegiatan bermain pada anak tidak membutuhkan hadiah ataupun reward namun
mereka bermain untuk kegiatan itu sendiri. White mengemukakan bahwa dengan
adanya kegiatan bermain anak-anak akan memperoleh kepuasan pribadi karena
merasa kompeten. Keberhasilan melakukan sesuatu atau memperoleh tanggapan dari
lingkungannya sudah merupakan hadiah tersendiri bagi anak. Bermain dapat
merupakan cara anak bertindak menurut kehendaknya sendiri dalam tindakan yang
efektif. Jadi, dengan adanya kegiatan bermain itu sendiri dapat membuat siswa
merasa senang dan ingin mengulanginya lagi.
5). Teori Jerome Brunner menyatakan bahwa belajar
matematika akan berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep
dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang akan diajarkan,
disamping hubungan-hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan
struktur-struktur. Brunner melukiskan anak-anak berkembang melalui tiga tahap
perkembangan yaitu: (a).Tahap Enactive Dalam tahapan ini anak-anak langsung
terlibat dalam menggunakan/ memanipulasi objek. (b). Tahap Iconic dimana dalam
tahap ini kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran
dari obyek-obyek yang dimanipulasinya. Pada tahap ini anak-anak tidak langsung
dari objek. (c). Tahap Simbolik yaitu tahapan ini siswa memanipulasi
simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terkait
objek-objek pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan
notasi tanpa ketergantungan terhadap objek real.
6).Teori Belajar Dienes yang mengemukakan bahwa
tiap-tiap konsep atau prinsip dalam Matematika yang disajikan dalam bentuk
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Konsep-konsep Matematika dipelajari
menurut tahapan-tahapan bertingkat dalam belajar mamatika. Adapun
tahapan-tahapan tersebut yaitu: (a). Permainan bebas adalah tahap belajar
konsep yang terdiri dari aktivitas yang tidak terstruktur dan tidak diarahkan.
Hal ini memungkinkan siswa untuk bereksperimen dan memanipulasi benda-benda
konkrit dan abstrak dari unsur-unsur yang dipelajari. (b). Permainan yang
menggunakan aturan
Pada tahap ini siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang
terdapat dalam suatu konsep. Melalui permainan siswa diajak untuk mulai
mengenal dan memikirkan struktur Matematika. (c). Permainan mencari persamaan
sifat dimana pada tahap ini siswa mulai diarahkan untuk menemukan struktur yang
menunjukkan kesamaan yang terdapat dalam permainan yang dimainkan (d).
Permainan dengan reperesentasi yaitu merupakan tahap pengambilan kesamaan sifat
dari beberapa situasi yang sejenis. Pada tahap ini anak mencari gambaran konsep
kesamaan sifat dari situasi tertentu. (e). Permainan dengan simbolisasi dimana
tahap ini merupakan tahap belajar konsep pada saat anak perlu merumuskan
reperesentasi pada setiap konsep dengan menggunakan simbol Matematika atau
dengan perumusan verbal yang sesuai. (f) Formalisasi
tahapan mempelajari suatu konsep dan struktur matematika yang saling
berhubungan. Dalam hal ini anak harus mengurut sifat-sifat itu untuk dapat
merumuskan sifat-sifat baru
Kerangka Konseptual
Dalam kegiatan belajar mengajar penggunaan metode mengajar matematika harus disesuaikan
dengan jenjang pendidikan. Untuk anak/ peserta didik pada jenjang pendidikan
permulaan pada umumnya masih senang bermain-main, maka pengajaran matematika
akan lebih berhasil bila menggunakan metode bermain, karena anak didik
dilibatkan secara aktif bermain dalam situasi nyata yang berkaitan dengan
matematika. Dengan metode bermain pengajaran matematika akan lebih menarik dan
menyenangkan karena menggunakan benda-benda konkret yang telah dikenal oleh
siswa, sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam belajar dan meningkatkan
hasil belajar matematika khususnya pada materi mengurutkan bilangan menggunakan
garis bilangan. Selain menyenangkan bermain juga membantu anak untuk memahami
materi pelajaran dan meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah.
Mengurutkan
bilangan dilakukan secara bertahap dari bilangan satuan, puluhan, ratusan
bahkan dapat di acak antara satuan puluhan dan ratusan. Dengan kemampuan siswa
yang mahir dalam mengurutkan bilangan dari kecil ke besar dan sebaliknya
sehingga dapat menjadi dasar bagi pembelajaran selanjutnya.